![]() |
Uwais Thoriq Nabhan, Presiden Mahasiswa STIE GICI Business School 2023–2024, Koordinator Isu BEM Se-Bogor 2025. (Foto: Dok/Ist). |
Portal Demokrasi, Jakarta - Gelombang aksi yang berlangsung sejak 25 Agustus hingga 1 September lalu menyisakan luka mendalam bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Tidak hanya karena benturan di lapangan, tetapi karena wajah asli negara kembali menampakkan sisi represifnya.
Uwais Thoriq Nabhan, Presiden Mahasiswa STIE GICI Business School 2023–2024, Koordinator Isu BEM Se-Bogor 2025, Sekaligus Pemuda Kota Bogor menegaskan bahwa tragedi yang terjadi bukan sekadar persoalan teknis di jalanan, melainkan cerminan dari krisis politik dan kegagalan representasi.
“Mahasiswa, rakyat sipil, bahkan seorang driver ojol yang tak bersalah menjadi korban. Ada yang dipukuli, dikejar-kejar, ditangkap tanpa alasan, hingga ada yang meninggal karena dilindas kendaraan aparat. Jika negara hadir seperti ini, bagaimana kita bisa menyebut bahwa demokrasi masih hidup?” ujarnya dengan nada tegas.
Menurut Uwais Thoriq, tindakan aparat yang represif hanyalah salahsatu dari sekian masalah yang lebih mendalam. Di balik itu, ada pemerintah pusat dan DPR yang menutup ruang dialog, mengabaikan aspirasi yang sejak tanggal 25 hingga 31 Agustus sudah berkali-kali disuarakan di depan parlemen dan diberbagai daerah di tanah air.
“Aksi-aksi mahasiswa bukanlah luapan emosi tanpa arah. Ia lahir dari akumulasi kemarahan rakyat atas ketidakpekaan pemerintah terhadap berbagai isu yang menghimpit bangsa ini. Namun sayangnya, yang kami terima justru pentungan, gas air mata, intimidasi, bahkan senjata. Sementara para wakil rakyat bersembunyi di balik gedung megah yang enggan turun mendengar suara konstituennya,” tegasnya.
Uwais menyoroti kualitas anggota DPR yang menurutnya, tidak sedikit hanya hadir sebagai pengisi kursi kekuasaan, bukan representasi sejati rakyat.
“Ketika wakil rakyat lebih sibuk menjaga kenyamanan kekuasaan daripada menunaikan tanggung jawab, maka representasi itu gagal. Rakyat merasa kehilangan saluran politik yang sah, sehingga turun ke jalan menjadi pilihan terakhir. Tetapi alih-alih disambut dengan dialog, mereka justru diperlakukan sebagai ancaman.”
"Kalau ruang parlemen membisu, maka jalananlah yang bersuara. Namun jangan salah, suara itu bukan ancaman bagi negara, melainkan nafas yang membuat republik ini tetap hidup.” Ujar Uwais
Lebih jauh, ia menyebut bahwa represifitas aparat hanyalah gejala dari sebuah sistem kekuasaan yang alergi terhadap kritik. “Negara yang takut pada rakyatnya adalah negara yang sedang rapuh. Kekerasan mungkin bisa membungkam satu dua suara, tapi sejarah selalu membuktikan: represi justru melahirkan perlawanan yang lebih luas.” Tegas Uwais Thoriq.
Dalam pernyataannya, Uwais Nabhan mengajak seluruh pihak untuk memandang persoalan ini dengan jernih, bukan sekadar kerusuhan, melainkan alarm bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di ujung tanduk.
“Ini bukan hanya sekadar tentang mahasiswa atau ojek online yang menjadi korban. Ini tentang arah bangsa. Apakah kita mau terus hidup dalam demokrasi ilusi yang hanya ada di teks konstitusi tapi mati di jalanan? Atau kita berani memperbaiki, mendengar rakyat, dan memulihkan kepercayaan?”
Di akhir pernyataannya, Uwais menegaskan bahwa mahasiswa akan tetap berdiri di garis depan, bukan untuk menggantikan rakyat, melainkan untuk berjalan bersama rakyat.
“Kami tidak bisa berdiam diri ketika demokrasi diinjak-injak. Kami berdiri bukan karena ingin menggulingkan, tapi karena ingin menyelamatkan. Jika suara rakyat dikhianati, maka sejarah akan mengingat: mahasiswa selalu hadir untuk mengingatkan.”
Uwais menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh lagi menutup mata. Aspirasi yang bergema di jalanan adalah cermin keresahan rakyat. Oleh karena itu, ia menuntut agar pemerintah pusat, DPR, dan seluruh institusi terkait segera membuka ruang dialog yang tulus, mengabulkan tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil, serta menghentikan segala bentuk kekerasan aparat.
“Harapan kami sederhana: dengarkan rakyat, kabulkan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, jangan abaikan suara hati bangsa, jangan anti kritik! Negara ini tidak akan runtuh karena kritik, justru akan hancur bila penguasa tuli terhadap jeritan rakyatnya. Kami menuntut agar kebijakan yang lahir bukan dari ruang gelap oligarki atau segelintir elit yang berkepentingan, tapi dari musyawarah yang jujur dan berpihak pada kepentingan publik. Jika pemerintah benar-benar mengabdi pada rakyat, maka saat inilah waktunya membuktikan,” tutup Uwais.