![]() |
Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist). |
Portal Demokrasi, Opini - Di tengah sesaknya ruang bernegara, kata "hukum" sering kali dianggap hanya sebatas tumpukan kata dalam teks peraturan perundang-undangan atau ancaman sanksi belaka yang masih bisa diperdebatkan. Jauh daripada itu, hukum merupakan cerminan dari jiwa para individu yang mengikatkan diri dan kebebasannya pada negara dan hukum, yang mana itu dilakukan tak lain utnuk mejamin agar adanya pemenuhan dan perlindungan hak dasar mereka. Begitu banyak hal yang sudah melengkapi perkembangan kehidupan berhukum dalam suatu negara, baik itu hal yang sifatnya positif maupun justru negatif. Paling tidak, itu semua bisa dijadikan sebagai Pelajaran berharga untuk menata kehidupan kedepan agar dapat berhukum secara adil dan bermanfaat.
Kebanyakan dari kita sering kali terjebak pada pemahaman hukum sebatas "apa yang tertulis". Sehingga ini menimbulkan persepsi: Apa yang tidak dituliskan secara jelas, makai a tidak dilarang atau dengan kata lain diperbolehkan. Padahal, hukum dalam esensinya yang paling mendalam, adalah perwujudan dari nilai-nilai moral dan etika yang diyakini Bersama. Ia adalah upaya kolektif untuk memanusiakan manusia, menciptakan tatanan di mana hak dan kewajiban setiap individu dapat terpenuhi tanpa merugikan sesama.
Pendekatan filosofis mengajarkan kita untuk melihat hukum bukan hanya sebagai lex scripta (hukum tertulis), melainkan juga sebagai lex vivens (hukum yang hidup). Hukum hidup dalam interpretasi, dalam implementasi, dan dalam kesadaran kolektif masyarakat. Ketika kita hanya mengukur kesadaran atau ketaatan berhukum hanya dengan mencockkan antara apa yang nampak didepan mata dan telinga dan apa yang tertulis didalam teks perundang-undangan, bisa saja kita berhukum tanpa ada kesejukan keadilan didalamnya yang memberikan kehidupan bagi para individu yang dipaksa tunduk tuk menerima sanksi yang akan diberikn kepadanya.
Dalam praktik berhukum, kita selalu dihadapkan pada “pertikaian” antara kepastian hukum , Keadilan dan Kemanfaatan sebagaimana tujuan hukum yang kita kenal dari Gustav Radbruch salama ini. Kepastian hukum menjamin bahwa setiap orang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, memberikan prediktabilitas dan menghindari kesewenang-wenangan. Namun, terlalu kaku pada kepastian bisa mengorbankan rasa keadilan, terutama dalam kasus-kasus yang unik atau di mana penerapan aturan secara harfiah justru terasa tidak manusiawi sehingga bisa merampas rasa keadilan dan kebermafaatn hukum yang seringkali dirindukan oleh para individu dalam suatu negara.
Di sinilah peran para penegak hukum—hakim, jaksa, polisi, advokat—menjadi sangat krusial. Mereka bukan sekadar robot yang membaca pasal. Mereka adalah jantung sistem peradilan yang dituntut untuk menafsirkan, menganalisis, dan menerapkan hukum dengan sangat baik dan penuh kehati-hatian. Semisal, seorang Hakim tidaklahbertugas hanya sebagai pembaca teks atau corong undang-undang belaka atau memastikan proses formalitas terpenuhi, tetapi jauh dari itu ia juga dituntu untuk dapat menggali esensi keadilan yang hidup dalam jiwa Masyarakat yang nantinya ia akan tuangkan dalam setiap putusannya.
Mari sejenak kita luangkan waktu untuk merenungkannya, Apakah selama ini kita sudah berhukum sebagaimana mestinya? Atau Justru kita hanya berhukum sebatas tekstual belaka atau justru kita berhukum secra subtansial/progresif? Hal ini menjadi penting agar kehidupan bernegara itu bisa menjadi lebih terukur, damai dan bertahan lama nantinya.
Untuk mencapai suatu kedamaian dalam kehidupan bernegara, dibutuhkan hadirnya ketertiban berhukum didalamnya tanpa terkecuali dari individu yang ada didalamnya sebab ketertiban berhukum, tidak hanya ditentukan dari bagaimana kualitas peraturan dan aparatur pelaksanannya, namun itu juga sangat ditentukan oleh mereka yang diatur oleh peraturan tersebut. Dalam kehidupan bernegara ini, paling tidak harapa emua idnividu itu sama tentang hukum, dimana akan berharap bahwa Berhukum seharusnya bisa membawa kita menuju peradaban yang lebih manusiawi. Dimana Hukum yang Melayani, Bukan Memperbudak dan hukum bisa lebih adaptif terhadap perkembangan zaman untuk emmastikan tidak adanya hak individu yang hilang begitu saja tanpa ada bertanggungjawab atas hal tersebut sehingga ini bisa memberikan atau menghidupakan rasa keadilan dalam kesadaran individu.
Pada akhirnya, bagaimana kita berhukum akan sangat menentukan kualitas peradaban kita. Apakah kualitas peradaban kita kedepannya akan semakin baik atau justru akan buruk itu ditentukan dari bagaimana kesadaran berhukum kita saat ini.
*) Penulis adalah Muhammad Sofyan Jalal, S.H., M.H. (Dosen FISIPHUM UNSULBAR).