GUW9BUMoGfCiGfd6TfOpTUziTY==

1138 Honorer NON DIPA MA RI Terancam Hanya Berakhir di Outsourcing


Portal Demokrasi, Nasional
- Nasib 1138 Honorer NON DIPA di Mahkamah Agung RI kembali menjadi cermin buram bagaimana negara masih belum sepenuhnya hadir bagi para abdi yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri. Mereka yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, bahkan puluhan tahun, kini justru tersisih dari kesempatan mengikuti Tes PPPK Gelombang 2.

Bukan karena kinerja yang buruk, bukan pula karena masa pengabdian yang kurang. Mereka tersingkir hanya karena satu alasan administratif: SPTJM yang hanya diperuntukkan bagi honorer PPNPN dengan gaji dari anggaran DIPA.

Hal ini jelas tidak sejalan dengan amanah Permenpan RB 347 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa “semua honorer yang sudah mengabdi minimal dua tahun secara terus menerus dapat mengikuti Tes PPPK Gelombang 2.”

Kalau aturan itu dijalankan sebagaimana mestinya, 1138 honorer NON DIPA Mahkamah Agung mestinya berhak ikut seleksi. Namun realitas berkata lain: mereka dihalangi oleh regulasi teknis yang sempit, yang justru mencederai semangat keadilan dalam aturan utama.

Salah seorang honorer menyuarakan perasaan getirnya:

“Nasib kami yang sudah bertahun-tahun hanya akan berakhir di outsourcing.”

Kalimat sederhana ini sebenarnya adalah teriakan dari ribuan hati yang terluka. Bagaimana mungkin mereka yang telah loyal puluhan tahun justru diakhiri dengan status outsourcing, seolah tenaga mereka hanya dianggap sekadar pengisi kekosongan sementara?

Jumlah honorer NON DIPA MA RI yang hanya 1138 orang sebenarnya relatif kecil dibanding ribuan honorer di daerah. Seharusnya justru lebih mudah bagi pemerintah untuk memberi solusi khusus bagi mereka. Ironisnya, rekan-rekan di daerah malah lebih beruntung karena diberi jalan menuju P3K Paruh Waktu, sementara mereka sama sekali tak diberi kesempatan.

Ketidakadilan ini semakin terasa karena honorer NON DIPA telah lama menjadi tulang punggung pelayanan peradilan di tingkat pusat. Mereka bekerja dalam sistem besar Mahkamah Agung, namun seolah tidak dianggap bagian dari sistem itu sendiri.

Pemerintah, khususnya Kemenpan RB dan Mahkamah Agung, perlu segera meninjau ulang kebijakan yang menutup jalan honorer NON DIPA. Persoalan administratif seperti SPTJM berbasis DIPA tidak seharusnya menghapus hak konstitusional honorer untuk mendapat kesempatan setara.

Jika benar negara ingin menuntaskan masalah tenaga honorer secara adil, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka kembali kesempatan seleksi PPPK Gelombang 2 bagi 1138 honorer NON DIPA MA RI. Mereka tidak meminta privilese, hanya menuntut hak yang sudah dijanjikan aturan.

Masa depan 1138 honorer NON DIPA Mahkamah Agung kini berada di ujung tanduk. Jika tidak ada langkah konkret, mereka akan benar-benar tersisih, digantikan outsourcing, dan pengabdian panjang mereka akan menguap begitu saja.

Jasa Backlink

Type above and press Enter to search.