![]() |
| Penulis; Shafiyah Azahra, Mahasiswa Program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. (Foto: Dok/Ist). |
Portal Demokrasi, Opini - Fenomena kecanduan gawai pada anak bukan lagi sekadar tren masa kini, melainkan krisis perkembangan yang mengancam fondasi generasi mendatang. Gawai telah menjelma menjadi bagian dari keseharian anak, bahkan sejak usia sangat dini. Anak-anak kerap menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, baik untuk bermain gim, menonton video, maupun mengakses media sosial. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, seperti gangguan penglihatan dan kurangnya aktivitas gerak, tetapi juga memengaruhi perkembangan emosi, kemampuan sosial, serta daya konsentrasi anak.
Sayangnya, respons terhadap kecanduan gawai kerap
bersifat reaktif dan instan. Banyak orang tua atau pendidik memilih jalan
pintas dengan cara melarang atau mengambil gawai secara mendadak. Padahal, pendekatan
semacam ini justru berpotensi memunculkan masalah baru, karena anak yang telah
mengalami ketergantungan tidak kehilangan sekadar alat hiburan, melainkan
sumber kenyamanan emosional yang selama ini ia andalkan.
Secara neurologis, kecanduan bekerja dengan
menciptakan jalur saraf di otak yang mengasosiasikan gawai dengan pelepasan
dopamin, hormon "rasa bahagia." Ketika sumber dopamin ini dicabut
secara tiba-tiba, yang muncul adalah apa yang disebut sebagai gejala putus
adiksi (withdrawal symptoms). Adiksi gawai menciptakan ketergantungan
psikologis yang kuat. Menghilangkan gawai secara paksa hanya akan memicu
resistensi, frustrasi, dan dalam banyak kasus, episode tantrum hebat. Ini
adalah respons alami tubuh terhadap rasa tidak nyaman yang mendadak, bukan
sekadar kenakalan.
Upaya mengurangi kecanduan harus diarahkan pada
penggantian sumber dopamin, yakni dengan menghadirkan aktivitas alternatif yang
sama-sama menarik, namun lebih sehat dan konstruktif bagi perkembangan anak.
Tanpa strategi substitusi semacam ini, pelarangan justru berisiko memperkuat
resistensi dan memperpanjang siklus ketergantungan.
Permainan tradisional menghadirkan intervensi yang
bersifat gradual. Anak tidak dipaksa untuk serta-merta meninggalkan gawai,
melainkan diajak beralih pada pengalaman bermain yang sama-sama menyenangkan.
Melalui permainan seperti gobak sodor, engklek, petak umpet, atau egrang, anak
terlibat secara aktif dengan tubuhnya, lingkungannya, dan teman sebayanya.
Proses ini memungkinkan pelepasan dari gawai terjadi secara perlahan, tanpa
menimbulkan tekanan psikologis yang berlebihan. Dengan kata lain, permainan
tradisional bekerja sebagai jembatan transisi dari ketergantungan layar menuju
aktivitas yang lebih sehat.
Permainan
tradisional menawarkan bentuk stimulasi yang lebih proporsional dibandingkan
rangsangan instan yang dihasilkan layar digital. Keterlibatan fisik dan
interaksi tatap muka yang intens mendorong anak untuk menikmati proses, bukan
sekadar mengejar kepuasan cepat. Pergeseran pola stimulasi ini secara bertahap
melemahkan dorongan anak untuk terus bergantung pada gawai sebagai sumber utama
pemenuhan kebutuhan emosional. Lebih jauh, pengalaman afektif yang tumbuh dari
kebersamaan dengan teman sebaya mampu menggantikan fungsi gawai dalam mengatur
suasana hati, sehingga ketergantungan digital tidak lagi menjadi kebutuhan
psikologis yang dominan.
Gagasan ini bukan sekadar asumsi, tetapi telah
dipraktikkan dalam inisiatif edukatif bernama Kampung Lali Gadget. Program ini
menghadirkan ruang bermain berbasis permainan tradisional sebagai upaya
mengurangi intensitas penggunaan gawai pada anak. Melalui pendekatan yang
menyenangkan dan kolektif, anak-anak diajak untuk kembali bermain bersama,
berlari, tertawa, dan berinteraksi secara langsung. Menariknya, dalam banyak
kasus, anak justru secara sukarela melupakan gawainya karena menemukan
kesenangan baru di luar layar.
Kampung Lali Gadget menunjukkan bahwa solusi atas
kecanduan gawai tidak selalu harus berbasis teknologi atau pendekatan klinis
semata. Intervensi berbasis budaya dan lingkungan lokal justru memiliki
kekuatan yang sering kali diabaikan. Permainan tradisional yang selama ini
dianggap usang ternyata mampu menjadi media pemulihan yang efektif, sekaligus
sarana pelestarian budaya. Anak tidak hanya dijauhkan dari gawai, tetapi juga
diperkenalkan pada identitas lokal dan nilai-nilai kebersamaan.
Oleh karena itu, upaya mengatasi kecanduan gawai pada anak perlu dipahami sebagai proses pendampingan, bukan pemaksaan. Permainan tradisional menawarkan pendekatan yang lebih ramah anak, berkelanjutan, dan kontekstual. Jika ingin benar-benar melepaskan anak dari jerat adiksi gawai, maka yang dibutuhkan bukan sekadar larangan, melainkan ruang bermain yang hidup, aman, dan bermakna. Sudah saatnya kita berhenti memusuhi gawai semata, dan mulai menghadirkan alternatif yang membuat anak merasa tidak kehilangan, melainkan menemukan kembali dunia bermainnya
*) Penulis adalah Shafiyah Azahra, Mahasiswa Program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.
